loading...

MLM Dalam Persfektif Islam

Terkait dengan label syariah pada MPPSyariah, pimpinan perusahaan telah melakukan presentasi semua produk dan aktivitas MPPSyariah di depan Dewan Syariah Nasional. Kita tunggu saja berita resmi dari MPP soal ini.

Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh berbagai aspek dari pemasaran berjenjang (MLM) dalam persfektif islam, berkut ini ada beberapa artikel, baik yang pro ataupun kontra. Yang kontra sebenarnya hanya mengingatkan saja bahwa MLM bila tidak dijalankan dengan baik dan disikapi dengan bijak akan menghadilkan banyak sekali kemadhorotan. Tentunya tidak hanya MLM, semua aspek bisnis juag akan berlaku demikian.

12 syarat agar MLM menjadi syari’ah :

  • Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).

  • Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
    Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.

  • Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.

  • Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.

  • Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.

  • Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.

  • Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir.

  • Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
    Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.

  • Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.

  • Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.

The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA) telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan dibenarkan oleh agama yang diteken langsung oleh M. Munir Chaudry, Ph.D, selaku Presiden IFANCA. Dalam edarannya, IFANCA mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya. Yaitu, dengan mengkaji aspek:

  • Marketing Plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line di bawahnya, maka hukumnya haram.

  • Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik. Ataukah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontroversinya.

  • Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak.

  • Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.

  • Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.

Selain kriteria penilaian di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut:

  • Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan, disamping pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan networking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara periodik.

  • Penegasan motif dan tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang ataupun jasa yang bermanfaat, dan bukan permainan uang.

  • Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk muslim maupun lokal.

  • Tidak adanya excesive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang dijualbelikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.

  • Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan kebenarannya saat transaksi.

  • Tidak adanya eksploitasi pada jenjang manapun antar distributor ataupun antara produsen dan distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar