loading...

Mau Kaya? Baca Berita

Oleh: Her Suharyanto

PARUH KEDUA tahun 2000 saya ditawari dan akhirnya memutuskan untuk pindah kerja, dari harian Bisnis Indonesia ke kantor berita Dow Jones Newswires, salah satu kantor berita terkemuka di bidang ekonomi dan keuangan. Sebelum benar-benar “ngantor”, sebenarnya saya sudah beberapa kali berkunjung ke kantor redaksi media tersebut. Tetapi yang benar-benar mencengangkan saya adalah apa yang saya baca pada hari pertama saya masuk kerja. Di bawah logo Dow Jones dalam format sederhana tertulis tagline yang mencengangkan tersebut: News to profit by. Berita untuk menangguk untung.

Saya langsung teringat pada mentor jurnalistik ekonomi saya, Pak Gery N. Munthe, namanya. Waktu itu kami sedang berdiskusi mengenai berapa harga newsletter ekonomi bilingual di Jakarta. Saya sempat tidak percaya ketika mendengar harga langganan produk stensilan itu bisa mencapai enam sampai sepuluh kali harga langgaran koran terbesar di Indonesia sekalipun. Padahal newsletter itu terbit hanya tiga kali sepekan.

“Kamu pikir, mengapa orang berani membayar mahal?” tanya Pak Gery sekitar bulan Februari atau Maret 1992. Pertanyaan itu sendiri sebenarnya sudah mengandung jawaban. Tetapi begitu disodorkan, pertanyaan itu kembali mengingatkan bahwa manfaat yang diperoleh tentu lebih besar dibanding dengan harga yang harus dibayar untuk newsletter tersebut.

Dan di kemudian hari saya memang terus menemukan kebenaran pertama yang disampaikan editor saya tersebut: harga berita yang baik dan berguna ternyata mahal. Di paruh kedua tahun 90an, ketika pasar modal mulai berkembang, beberapa teman wartawan pasar modal membuat terobosan. Di luar media tempat mereka bekerja, mereka meluncurkan satu media alternatif berisi “berita kilat” yang dikirim kepada pelanggan dengan faksimili setiap hari, pagi dan sore, dari Senin sampai Jumat. Mau tahu harganya? Limaratus dollar per bulan. Sayang media ini rontok karena kehabisan pelanggan ketika krisis 1997/98. Harga langganan 500 dollar menjadi terlalu mahal untuk situasi ekonomi waktu itu.

Sementara itu hingga kini kalangan pelaku ekonomi riil, seperti kontraktor misalnya, masih sangat fanatik dengan newsletter bernama Business News, dan sebelumnya juga ada Ekonomi Indonesia, dan CIC. Semuanya dijual dalam dollar AS. Ketika saya bergabung di kantor berita tahun 2000, saya semakin terkejut-kejut, karena harga langganan berita real time via satelit bisa mencapai ratusan dollar untuk satu kategori berita (misalnya kategori komoditas, perbankan, ekonomi, saham dll). Padahal banyak pelanggan yang berlangganan beberapa kategori berita sekaligus.

Di awal karir jurnalistik saya, editor saya selalu mendorong kami para reporter yunior untuk membaca berita Reuters, Financial Times dan The Asian Wall Street Journal. Karena saya tidak berlatar belakang ekonomi, terus terang saya sempat mencibir: berita seperti ini kok disiarkan? Apa urusannya fenomena frozen di Brazil? Mengapa badai di Mexico dianggap penting? Mengapa laporan cuaca di Indonesia dilaporkan oleh kantor berita internasional?

Dengan sabar editor saya itu bertanya, apa yang akan terjadi di dunia kalau iklim di Indonesia tiba tiba berbalik? Misalnya September sampai Februari tidak ada hujan, sementara mulai Mei sampai Agustus justru ada banyak hujan? Kami para reporter baru cuma cekikikan, menganggap pertanyaan itu lelucon belaka. Tapi untunglah editor saya sangat sabar. “Bagaimana bapakmu, Her?” dia bertanya. Gotcha, saya langung “ngeh”, urusannya terkait langsung dengan sektor pertanian dan agribisnis. “Bayangkan, apakah petani kopi akan panen? Dan apa yang akan terjadi kalau ekspor kopi Indonesia terpangkas 40%? Bagaimana nasib petani tembakau? Kalau pertanian tembakau gagal, bagaikana industri rokok? Kalau industri rokok jeblok, bagaimana penerimaan pemerintah dari pajak dan cukai? Bagaimana nasib saham rokok? Bagaimana pengaruhnya di indeks harga saham gabungan?”

Secara hepotetis dampaknya jelas: kalau panen tembakau gagal, biaya produksi industri rokok akan meningkat. Akibatnya keuntungan perusahaan akan tertekan, atau bahkan perusahaan akan merugi. Dampak lebih lanjut, penerimaan pajak dan cukai turun, harga saham jeblok, dan IHSG tertekan. Kalau panen kopi gagal, ekspor turun, maka pasokan kopi robusta dunia akan berkurang dan harga akan meningkat, karena Indonesia pemasok 90% kopi robusta dunia.

Satu pelajaran awal untuk saya. Yakni bahwa membaca berita tidak boleh berhenti pada informasi apa yang tersaji dalam teks berita tersebut. Saya harus bisa membuat analisa dengan cara berpikir lateral. Saya dituntut untuk bersikap kritis dengan bertanya, kalau saya membaca dan menghadapi satu berita, apa dampak dari berita itu? Dari boss saya itu pula saya belajar, bahwa berita ekonomi bukanlah pertama-tama peristiwa ekonomi. Berita ekonomi adalah peristiwa apapun sejauh memberikan dampak ekonomi.

Penulis bisa dihubungi melalui email her@suharyanto.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar