Apa yang terbayang dalam pikiran anda saat mendengar kata “MLM” atau Multi Level Marketing?

Seringkali yang terbayang dalam pikiran orang kebanyakan adalah “rekrut orang sebanyak – banyaknya” atau “jualan produk sebanyak – banyaknya dan jadilah salesman” atau yang lebih parah “bisnis tipu – tipu” dan masih banyak lagi imej negative yang melekat pada “MLM”. Hal itu sebenarnya bisa sangat di maklumi, karena dari ratusan perusahaan MLM yang berdiri di Indonesia, yang legal dan tergabung kedalam Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia(APLI) hingga tulisan ini di tampilkan hanya sejumlah 55 perusahaan. Persentase perusahaan yang tidak resmi dan tentunya menwarkan peluang bisnis yang tidak baik lebih banyak, jadi saya rasa wajar saja jika imej MLM menjadi begitu negative.

Oke, saya tidak akan berlarut – larut membicarakan perusahaan yang baik dan tidak baik. Tapi yang ingin saya sharing-kan sepemahaman saya pada tulisan kali ini sebenarnya bukan “Apa yang terbayang dalam pikiran anda saat mendengar kata MLM atau Multi Level Marketing?”, akan tetapi “bagaimana sebenarnya konsep MLM bekerja?”

Alright then, happy reading. :)

Saat seseorang, -katakanlah bernama A- bergabung dengan sebuah perusahaan MLM, proses seperti apa yang terjadi? Statusnya sebagai apa dalam perusahaan MLM tersebut? Oke, inilah yang terjadi saat A bergabung kedalam sebuah perusahaan MLM :

status.jpg

Saat A join kedalam perusahaan MLM, status-nya adalah sebagai mitra perusahaan MLM. Bukan sebagai pegawai perusahaan MLM tersebut. Analogi yang tepat untuk mengilustrasikan hubungan ini adalah seperti sebuah konter pulsa. Konter pulsa bukanlah pegawai perusahaan penyedia jasa seluler, tetapi mitra perusahaan penyedia jasa seluler tersebut. Hubungan kemitraan ini jelas atas dasar prinsip win – win solution dan menciptakan suatu hubungan hak dan kewajiban antara perusahaan dan mitranya. Perusahaan bertanggung jawab menyediakan produk yang berkualitas untuk didistribusikan. Mitranya bertugas mendistribusikan produk perusahaan. Dari produk yang didistribusikan tersebut, mitra akan mendapatkan keuntungan dari selisih harga yang didapat dari pendistribusian produk tersebut. Penggambaran skemanya kurang lebih seperti ini :

hubungan.jpg
Dalam situasi ini, perusahaan mendapatkan profit dari produk yang terdistribusikan. A pun mendapatkan profit dari produk yang didistribusikan, yaitu selisih antara harga beli distributor dan harga jual ke konsumen. Kedua belah pihak sama – sama untung. Namun, A selaku individu past memiliki keterbatasan dalam jumlah produk yang terjual. Artinya, potensi penghasilan A terbatas.

Maka dari itulah, A membentuk grup atau jaringan distribusi dengan cara mensponsori orang lain.
sponsoring.jpg

Nah, skema ini lah yang biasanya memunculkan reaksi – reaksi anti MLM seperti “Wah, kalau begitu nanti ngga adil, B, C, dan D kerja keras sedangkan A tidak bekerja apa – apa” atau “wah, skema pyramid dong ini. Hanya menguntungkan yang diatas saja.” Dan berbagai reaksi – reaksi anti MLM lainnya.

Saya rasa hal yang mendasari hal ini adalah anggapan bahwa mensponsori adalah hal yang sangat mudah dan tidak membutuhkan keahlian dan pengetahuan apa – apa, sehingga akan sangat mudah oleh A mensponsori 3 orang dan lalu 3 orang ini masing – masing mensponsori 3 sehingga ada 9 orang di level 2 dan yang 9 orang ini masing – masing mensponsori 3, dan seterusnya.

Oke, mari kita analisis. Kita ambil sampel B. ketika B disponsori oleh A, apakah B sudah mengerti cara menjalankan bisnisnya? apakah B sudah mampu mensponsori orang? Apakah B Sudah mengerti hal – hal teknis mengenai produk yang didistribusikan? Sudah mengerti cara mendistribusikan produk? Sudah mengerti hal – hal teknis tentang mengembangkan jaringan? Dari sini kita pahami bahwa ketika B bergabung di jaringan A dan menjadi mitra perusahaan, B sama sekali belum paham apa – apa. Kewajiban A – lah membimbing B agar menguasai teknik – teknik mengembangkan jaringan sehingga B dapat menciptakan omset. Skema yang terjadi adalah :

skema-mlm-lengkap.jpg

Orang – orang yang A sponsori dan A bimbing masing – masing akan menciptakan omset jaringan. Omset jaringan adalah omset yang tercipta karena A berhasil membimbing orang – orang yang berada di jaringannya. Saya rasa merupakan sesuatu yang adil jika A mendapatkan hasil karena A “membimbing” atau dengan kata lain mempintarkan jaringannya. Dan perlu diingat bahwa membimbing manusia membutuhkan waktu dan keahlian. Membimbing manusia bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan tidak membutuhkan keahlian bukan? ;)

Omset jaringan yang tercipta ini akan masuk ke dalam marketing plan, sebuah sistem pembagian hasil – dihitung dengan seksama dan akan dibagikan kepada masing – masing distributor dalam jaringan yang memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan bonus. Bonus akan dibagikan secara proporsional dan sesuai dengan hak masing masing distributor dan sesuai dengan prestasi kerjanya. Marketing Plan yang baik dapat mengenali distributor yang bekerja lebih keras dan lebih cerdas. Sehingga di perusahaan MLM yang baik, bukan hal yang tidak mungkin jika B dapat memiliki penghasilan lebih tinggi dari A. Sehingga di perusahaan yang baik, anggapan bahwa bisnis MLM hanya menguntungkan yang diatas tidak lah benar.

Sepemahaman saya dan yang sudah saya alami, skema inilah yang sebenarnya terjadi di perusahaan MLM yang resmi. Bagaimana pendapat Anda? :)