loading...

Bimada, upaya menciptakan lapangan kerja

Suara tiga mesin penggiling mi terdengar cukup keras di ruang produksi mi milik H Bimada (38) di kawasan Jurang Mangu, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu, ada juga dua pekerjanya sedang menekan-nekan adonan mi dengan bambu 10 sentimeter.

Tantangan persaingan secara eksternal memang sudah berat, tetapi lebih pahit lagi kalau pekerjanya seakan ‘menikam’ dari belakang

Dilihat produksinya, mi bikinan Bimada teaplah sama seperti mi pada umumnya. Bentuknya tipis dan panjang-panjang. Warnanya putih agak sedikit kuning. Juragan mi ini ingin sekali menciptakan lapangan pekerjaan secara informal, yakni berdagang ni bakso keliling. Bimada dahulu cuma memiliki delapan gerobak, tetapi kini sudah memiliki193 gerobak yang siap keluar kampung. Siang itu, bapak tiga anak asal Surabaya, Jawa Timur itu sedang memantau para pekerjanya sesuai dengan masing-masing bagian. Ada yang membuat mi, meracik daging ayam, dan ada pula yang membuat bakso daging sapi. Tidak sedikit pekerjanya yang meracik bumbu.

“Mas, adonan mi ini kayaknyakurang tipis. Coba di olah sedikit lagi”, ujar Bimada kepada seorang pekerjanya.

Usaha kecilnya ini tampak bergairah. Untuk membuat mi, Bimada harus mengolah sebanyak 15 sak tepung terigu masing-masing berisi 25 kilogram dan 150 kg telur ayam. Bimada tak hanya menjual mi, tetapi juga menjual daging ayam untuk campuran mi ayam sebanyak 150 kg dan daging sapi untuk membuat bakso sebanyak 30-40 kg.

Lelaki berperawakan kecil ini, mengaku dirinya tidak memiliki kemampuan hebat. Rajutan pengalaman membuat Bimada yakin, lambat laun usaha inidapat menyejahterakan orang-orang yang sampai sekarang nekad datang ke Jakarta.

Daya Saing

Persaingan memang semakin kencang. Namanya pedagang mi bakso, begitu mudah di temui hampir disetiap sudut tempat tinggal kita. Ada yang mangkal, tetapi tidak sedikit yang berkeliling menjajakan makanannya.

Meski harus mencermati persaingan yang makin hebat, Bimada tetap meyuakini usaha kecilnya mampu bertahan. Dia menamakan usaha kecilnya dengans sebutan “Bakmi Raos“. Dalam bahasa Sunda, Raos artinya enak. Padahal Bimada mengartikan sebagai plesetan singkatan “rasa restoran“.

Namanya juga plesetan. Bimada pun akhirnya mengisahkan perjalanan usahanya. Karyawan perusahaan kargo itu memulai usaha kecilnya sejak tahun 2003. Kerjasama dengan restoran terkemuka tampaknya tidak membahagiakan Bimada.

Lepas dari kerjasama itu, dia mendirikan tiga warung bakso di Jombang, Ciputat dan Jurang Mangu. Alamaaak …., usahanya bangkrut!. Ternyata jiwa wirausaha-nya Bimada tak padam.

Sempat strees juga saya.” namun, itu tak berarti menyurutkan langkah untuk membuka usaha. Disela-sela kesibukan sebagai karyawan swasta, Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang ini nyantrik (belajar-Red) membuat mi dari seorang tukang bakso di Surabaya.

Hanya beberapa kali singgah di warung tukang bakso yang cukup laris tersebut, Bimada nekad menawarkan tukang bakso itu untuk berdagang di Jakarta. Sayang upayanya gagal. Bimada harus berusaha sendiri. Setelah nyantrik pembuatan mi dari jurumasak lainnya, Bimada akhirnya mencoba membuat sendiri di ruang btamu dan garasi rumahnya. “Waktu itu ruang tamu dan garasi ini blepotan tepung terigu,” kata bimada.

Bulan desember 2003, delapan gerobak mi baksonya mulai berkeliling dari kampung ke kampung. Semula satu porsi mi bakso di jual Rp. 4.000,-. Bimada yang sudah menyediakan perlengkapan, mi, bakso, sayuran dan bumbu-bumbu memberikan komisi kepada pedagang sebesar Rp. 1.000,- per mangkok.

Selain itu, Bimada memberikan insentif kepada pedagangnya sebesar Rp. 150.000 - 250.000 per bulan dan uang makan Rp. 10.000 per hari. Lantas bagi pedagang yang dapat menjual lebih dari 40 porsi di berikan tambahan lagi Rp. 500 per porsi.

Bukan itu saja, dia juga memberikan bantuan pembiayaan rumah kontrakan dan bahan-bahan baku mi bakso. Itu artinya, pekerjanya tinggal menyediakan tenaga saja.

Dari sedikit gerobak ini, Bimada justru belajar banyak tentang perkembangan usaha kecilnya, termasuk penipuan yang di alaminya. Tantangan persaingan secara eksternal memang sudah berat, tetapi lebih pahit lagi kalau pekerjanya seakan ‘menikam’ dari belakang.

Kok bisa begitu? Bimada mengungkapkan, selama ini orang-orang dari kampung kerap dianggap lugu. Perubahan zaman telah menepis pandangan klasik itu. Buktinya, kata Bimada, pembagian komisi dari hasil penjualan mi baksonya tetap di rasakan kurang. Secara licik, pedagangnya masih menaikkan harga dari Rp. 4.000 per porsi menjadi Rp. 5.000 per porsi.

Selain itu, padagang semakin licik. Modal 5 porsi mi yang sduah di berikan malah di bagi-bagi lagi supaya bisa menghasilkan 6 porsi. Tujuan pedagang cuma satu, yaitu meraih keuntungan sana-sini.

Meski kerap di curangi pedagangnya sendiri, Bimada tetap tidak kapok. Belajar dan terus belajar mengatur pedagang memang butuh ketekunan. ” Prinsipnya tetap sama, saya ingin pedagang memiliki jiwa kewirausahaan,” kata Bimada.

Oleh: Stefanus Osa Triyatna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar